Powered By Blogger

Minggu, 15 Januari 2012

Kini Kau Bukan Lagi "Teman" ku


Syukurku padaMu, Kau perkenalkan aku dengan banyak hambaMu uuntuk menjalin erat ikatan ukhuwah, begitu pun bahagiaku Kau hadiahkan untukku rasa cinta pada hamba-hambaMu hingga aku bisa lebih mengenalMu lewat makhluk yang Kau ciptakan.
Dan aku memiliki seorang “teman” dari sekian banyak hambaMu. Aku paham, ini bukanlah hal yang luar biasa, namun kutanggapi dengan keluarbiasaan. Aku menjadikannya teman dalam tanda kutip. Mungkin ada beberapa yang kuharapkan darinya, tapi sebenarnya tidak jelas antara harap dan tidak. Kutandai dia sebagai teman dalam tanda kutip. Tidak sama dengan temanku lainnya. Dan harus aku tau, aku tidak sedang berbicara tentang sesama jenisku.
Berulangkali, bahagia dengan keberadaannya, dan berulangkali juga aku cemas dengan tingkahnya. Seolah-olah dia adalah tawananku yang tidak layak beranjak sedikit pun dari pengawasanku. Baik dari Facebook, SMS, atau selintingan cerita dari orang-orang terdekatnya, atau media lainnya yang terkait dengan namanya.
Aku paham, dia adalah teman dalam tanda kutip. Seraya lelah kumencari kabar tentangnya, dan sesekali sedih berhampir “ah..  mungkin dia sudah melupakanku “, namun sesekali juga bahagia bertandang, “oh.. dia masih mengingatku..“. Alangkah payah membersamai ketidakpastiaan. Hubungan yang tidak jelas titik terangnya. Antara ukhuwah dan cinta. Seraya meraba, yang mana yang akan dipilih.
Sibuk memantau status FB-nya, sambil baca-baca komentnya ke beberapa orang. Akan sedih dan bingung ketika ada akhwat lain yang ngelike statusnya atau akhwat lain yang dia koment statusnya. Hmmm.. intinya, tidak terima keterkaitannya dengan akhwat lain. Hmmm.. agak egois memang.
Dan lebih anehnya lagi, lelah memikirkan makna-makna yang ada dari sms-sms yang dia kirim. Seolah menjadi mufassir. “bisa jadi ,,, bisa jadi ,,, mungkin ,,, mungkin ,,, “, dan banyak lagi kalimat mengira-ngira lainnya. Menjadi mufassir atas tingkahnya yang bisa jadi biasa, namun dianggap luar biasa.
Dan akhirnya, setelah sekian lama berkutat dengan aktivitas ga jelas ini, kuputuskan bahwa hal ini sia-sia, melelahkan, menjemukan, membosankan. Dan seharusnya tafsiran yang harus ku cari lebih dahulu adalah “apa hubunganku dengannya? “. Aku yakin, kita bukan saudara sedarah yang harus ku tinjau perkembangannya, walau pun haqqul yakin kita adalah saudara seiman, seakidah yang harus saling menunaikan hak. Oleh Karena itu, sudah selayaknya statusnya kuubah saat ini juga, status yang membuatku kelimpungan mengintai FB-nya, membuatku kebingungan menafsir maksud pesan singkatnya. Jadi, dengarlah lewat alam bawah sadarmu, kalau sekarang kau adalah temanku, bukan teman dalam tanda kutip. Ingatkan aku jika terlupa membuat tanda kutip atas statusmu sebagai teman.

Sabtu, 07 Januari 2012


JAMAL, PAHLAWAN DARI PELABUHAN TANJUNG PERAK

Sering kita dengar dan lihat sudah sejak lama atau baru akhir-akhir ini perubahan dalam pola pikir seorang pemuda, dalam hal ini mahasiswa khususnya. Sering berkeluh kesah atau bisa di sebut pamer masalah keuangan tipis, sulit makan, hanya makan 2 kali sehari, atau hanya makan sekali sehari, jarang mandi karena jadwal rapat dan kuliah yanag padat, jarang tidur karena tugas-tugas yang menggunung, jarang pulang kampung karena jadwal kegiatan yang padat atau bahakan mengeluh tentang tidak jelasnya masa depan. Semua keluh kesah itu akan sirna kalau anda melihat kisah seorang anak kecil, seorang anak ke dua dari 5 bersaudara, masih kelas 2 SD, Jamal namanya. Bermula pada hari itu, minggu libur akhir pekan di salah satu sudut pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Kebetulan hari itu saya ingin melihat kapal-kapal angkut muat di pelabuhan bersama seorang teman saya, karena kebanyakan minum air sewaktu di kosan saya ingin pergi ke toilet untuk buang air, saya mendatangi salah satu sudut di pelabuhan untuk mencari toilet, di tengah kebingungan saya mencari toilet, kemudian datang kepada kami seorang anak kecil dengan sikap layaknya seorang profesional eksekutif muda menanyakan dengan ramah, “Mas, mau ke kamar kecil? kamar kecilnya ada disana, mari ikut saya”, begitu katanya. mengantarkan dan menunjukan dengan sebaik-baiknya dan ikhlas kepada kami dimana tempat toilet pada sebuah ruang tunggu di pelabuhan. Tutur katanya sopan, lugu khas seorang anak kecil. Dia tidak mengemis, bukan, dia bukan pengemis. Dia tidak mau menerima uang pada saat teman saya memberinya selembar uang 5 ribuan, katanya, ”ngag usah mbak, nanti saya di kasih jatah sendiri sama orang yang jaga toilet ini mbak. Makasih”. Kemudian dia bercerita panjang lebar dengan teman saya, bahwa dia masih sekolah kelas 2 SD, mempunyai seorang kakak yang masih kelas 5 SD dan 3 orang adik. Dapat anda bayangkan berapa jarak umur antara adik-adik dia. Karena kebutuhan ekonomi ayahnya menyuruh dia dan kakaknya untuk bekerja pada hari libur sekolah. Setelah saya selesai dari toilet kemudian saya mengajak teman saya untuk melihat kapal di pintu belakang, kebetulan pintu itu seluruhnya terbuat dari kaca jadi kapal itu dapat terlihat seluruhnya dari balik pintu, namun pintu itu tidak dapat di buka karena memang bukan untuk jalan masuk ke dermaga. Ketika saya dan teman saya mencoba untuk membuka pintu itu dan tidak bisa, Jamal, anak kecil itu berlari-lari kecil menghampiri kami, dengan sopannya dia katakan, “Mas, pintu ini tidak bisa di buka, kalau memang mau lihat kapal dari dermaga mari ikut saya, saya tunjukkan tempatnnya”. Aku pun menolaknya secara halus, karena memang aku sebenarnya juga tidak berniat untuk melihat langsung ke dermaga, itu tadi hanya karena kami iseng ingin membuka pintunya, kami pun juga sudah tahu kalau pintu itu tidak bisa untuk di buka. Lihatlah betapa seorang anak kecil tanpa pamprih melayani dengan ikhlas, disaat dia masih berusia sebelia itu. Saya jadi malu, pada umur sebaya dia saya masih asyik dengan mainan dan harus merengek setiap hari hanya karena makanan yang di sajikan ibu saya tidak cocok dengan selera saya.

Surabaya, 07 Januari 2012
Henry Haskarya & "Uti"