JAMAL, PAHLAWAN DARI PELABUHAN TANJUNG PERAK
Sering
kita dengar dan lihat sudah sejak lama atau baru akhir-akhir ini perubahan
dalam pola pikir seorang pemuda, dalam hal ini mahasiswa khususnya. Sering berkeluh
kesah atau bisa di sebut pamer masalah keuangan tipis, sulit makan, hanya makan
2 kali sehari, atau hanya makan sekali sehari, jarang mandi karena jadwal rapat
dan kuliah yanag padat, jarang tidur karena tugas-tugas yang menggunung, jarang
pulang kampung karena jadwal kegiatan yang padat atau bahakan mengeluh tentang
tidak jelasnya masa depan. Semua keluh kesah itu akan sirna kalau anda melihat kisah
seorang anak kecil, seorang anak ke dua dari 5 bersaudara, masih kelas 2 SD, Jamal
namanya. Bermula pada hari itu, minggu libur akhir pekan di salah satu sudut pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya. Kebetulan hari itu saya ingin melihat kapal-kapal
angkut muat di pelabuhan bersama seorang teman saya, karena kebanyakan minum
air sewaktu di kosan saya ingin pergi ke toilet untuk buang air, saya
mendatangi salah satu sudut di pelabuhan untuk mencari toilet, di tengah
kebingungan saya mencari toilet, kemudian datang kepada kami seorang anak kecil
dengan sikap layaknya seorang profesional eksekutif muda menanyakan dengan
ramah, “Mas, mau ke kamar kecil? kamar kecilnya ada disana, mari ikut saya”,
begitu katanya. mengantarkan dan menunjukan dengan sebaik-baiknya dan ikhlas kepada
kami dimana tempat toilet pada sebuah ruang tunggu di pelabuhan. Tutur katanya
sopan, lugu khas seorang anak kecil. Dia tidak mengemis, bukan, dia bukan
pengemis. Dia tidak mau menerima uang pada saat teman saya memberinya selembar uang
5 ribuan, katanya, ”ngag usah mbak,
nanti saya di kasih jatah sendiri sama orang yang jaga toilet ini mbak. Makasih”.
Kemudian dia bercerita panjang lebar dengan teman saya, bahwa dia masih sekolah
kelas 2 SD, mempunyai seorang kakak yang masih kelas 5 SD dan 3 orang adik.
Dapat anda bayangkan berapa jarak umur antara adik-adik dia. Karena kebutuhan
ekonomi ayahnya menyuruh dia dan kakaknya untuk bekerja pada hari libur
sekolah. Setelah saya selesai dari toilet kemudian saya mengajak teman saya
untuk melihat kapal di pintu belakang, kebetulan pintu itu seluruhnya terbuat
dari kaca jadi kapal itu dapat terlihat seluruhnya dari balik pintu, namun
pintu itu tidak dapat di buka karena memang bukan untuk jalan masuk ke dermaga.
Ketika saya dan teman saya mencoba untuk membuka pintu itu dan tidak bisa, Jamal,
anak kecil itu berlari-lari kecil menghampiri kami, dengan sopannya dia
katakan, “Mas, pintu ini tidak bisa di buka, kalau memang mau lihat kapal dari
dermaga mari ikut saya, saya tunjukkan tempatnnya”. Aku pun menolaknya secara
halus, karena memang aku sebenarnya juga tidak berniat untuk melihat langsung
ke dermaga, itu tadi hanya karena kami iseng ingin membuka pintunya, kami pun
juga sudah tahu kalau pintu itu tidak bisa untuk di buka. Lihatlah betapa
seorang anak kecil tanpa pamprih melayani dengan ikhlas, disaat dia masih
berusia sebelia itu. Saya jadi malu, pada umur sebaya dia saya masih asyik dengan
mainan dan harus merengek setiap hari hanya karena makanan yang di sajikan ibu
saya tidak cocok dengan selera saya.
Surabaya,
07 Januari 2012
Henry
Haskarya & "Uti"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar